Pada bagian ini akan saya ketengahkan beberapa pendapat ulama modern dalam mensikapi adanya wanita berkarier:
Kedelapan: Ustadz Syaikh Ahmad Ibrahim
Dia berpendapat: "Apabila istri berkarier di luar rumah, lantas suami melarangnya, tetapi ternyata ia melanggarnya, maka ia tidak berhak mendapat nafkah selama ia berada di luar."
Kesembilan: Al-Ustadz asy-Syaikh Muhammad laid al-Ibyani
Setelah menyebutkan sebab-sebab penafkahan istri dan peniadaannya, dia menyebutkan beberapa istri yang tidak berhak mendapat nafkah, di antaranya ialah istri yang berkarier. Secara khusus dia mengatakan, "Apabila suami melarang istrinya berkarier, tetapi dia tidak menghiraukannya, maka ia tidak berhak mendapat nafkah dari suami; karena istri tidak lagi menaati suami secara tidak benar, maka lenyaplah hak nafkahnya."
Kesepuluh: Al-Ustadz asy-Syaikh Abdul Wahab Khalaf
Dia menyebutkan istri-istri yang kehilangan nafkah, di antaranya adalah istri karier. Lebih khusus lagi dia menyatakan bahwa begitu pula istri karier yang keluar pada siang hari, yang suaminya telah melarangnya, tetapi dia tidak menghiraukannya, maka dia tidak berhak menerima nafkah dari suaminya.
Kesebelas: Dr. Abdul Adhim Syaraffuddin
Dia telah merinci dalam kitabnya sebab yang mewajibkan nafkah. Dia menyebutkan sebagian wanita yang tidak perlu dinafkahi, antara lain adalah istri karier. Menyangkut peniadaan yang ada: selama suami tidak merelakan kesibukan istri pada pekerjaannya yang menyita sebagian waktu, dan melarangnya, tetapi tidak diindahkan, dengan begitu hilanglah hak suami "menahan" lantaran pelanggaran istri. Jika suami telah merelakannya kembali, istri berhak menerima nafkah dari suaminya.
Keduabelas: Al-Ustadz asy-Syaikh Muhammad Abu Zahrah
Dia berkata, "Apabila suami kehilangan ihtibas secara tidak benar, maka ia (istri) tidak berhak mendapat nafkah, dan wanita itu dikategorikan nusyuz, dan di antara istri yang nusyuz itu adalah istri karier." Lalu ia berkata, "Istri karier, jika kariernya mendorongnya tidak menetap di rumah, maka ia tidak berhak memperoleh nafkah dari suami jika suaminya telah melarangnya. Hal itu adalah karena ihtibas dianggap kurang, maka suami harus menuntutnya dengan penuh; jika dia menolak, maka ia termasuk seorang nusyuz. Akan tetapi, apabila suami rela dengan ihtibas yang kurang tersebut, maka ia wajib menafkahinya."
Uraian tersebut di atas adalah rasional mengingat bahwa ihtibas yang telah menyebabkan adanya pemberian nafkah adalah suatu ihtibas bagi pelarangan mencari harta untuk dirinya sendiri, sedangkan di antara wanita karier tidak terbukti ada yang seperti itu.
"Apabila suami rela dengan ihtibas yang kurang tersebut, maka ia berhak memberi nafkah selama masa relanya itu. Akan tetapi, suatu ketika suami melarangnya, kemudian si istri tidak menaatinya, maka ia tidak berhak memperoleh nafkah."
Meskipun suami rela atas pekerjaan istrinya, tidaklah berarti ia menggugurkan haknya jika ia sewaktu-waktu melarangnya. Dengan kata lain, kerelaan suami atas pekerjaan istrinya yang sifatnya sementara itu tidaklah menggugurkan hak larangannya di lain saat.
Ketiga belas: Prof. Dr. Abdurrahman Tajj
Dia berpendapat, "Apabila hilangnya ihtibas tersebut dari pihak istri atau dari orang asing lainnya, maka wanita tersebut tidak mendapat nafkah."
Selanjutnya ia menegaskan bahwa wanita karier merupakan suatu kelompok istri yang tidak berhak mendapat nafkah dari suaminya. Lebih tegas lagi dia menekankan, "Jika pekerjaan istri menyita waktu siang hari atau sebagiannya, kemudian pada malam harinya dia pulang ke rumah suami, atau apabila istrinya bekerja semalam suntuk atau sebagiannya, kemudian dia pulang setelah itu, maka pekerjaan ini tidaklah menjadikan istri tersebut memenuhi syarat untuk bisa diberi nafkah oleh suami." Permasalahannya bergantung pada suami: Jika ia rela dengan keadaan ihtibas yang kurang tersebut, maka istrinya tetap berhak mendapat nafkah. Akan tetapi, jika ia tidak merelakan pekerjaannya, dan istri tidak menaati permintaannya, maka ia tak berhak menerima nafkah.
Begitu pula jika suami pada mulanya rela terhadap hal tersebut, lantas dia melarang istrinya bekerja, tetapi si istri tidak menghiraukannya, maka hilanglah hak atas nafkahnya.
Para fuqaha (ahli fiqih) tidak membeda-bedakan suatu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya. Selama suami tidak rela terhadap pekerjaannya yang dilakukan di luar rumah, maka selama itu pula ia akan tetap kehilangan nafkah suaminya sekalipun pekerjaan-pekerjaan tersebut dianggap sebagai pekerjaan yang penting untuk masyarakat seperti menjadi bidan dan dokter.
Keempat belas: Pendapat Prof. Umar Abdullah, ketua Jurusan Syari'ah dan wakil dekan Fakultas Hukum Iskandariyah
Dia telah menguraikan hukum pemberian nafkah istri serta menjelaskan sebab diwajibkannya dan larangan-larangannya. Dia menyebutkan adanya sekelompok istri yang tidak memperoleh nafkah dari para suami mereka, di antaranya adalah wanita karier; hal itu adalah karena suami telah kehilangan ihtibas dari pihak istrinya.
Di sini kita nukilkan pendapatnya yang khusus menyangkut hal ini: "Istri yang berkarier, baik itu guru, jaksa, dukun beranak, atau perawat yang kerjanya di luar rumah, baik sepanjang siang hari maupun paruh waktu (part time), dan baru pulang ke rumah suami setelah itu, istri yang seperti itu tidak memperoleh nafkah dari suaminya jika ia tidak menaati larangan suaminya dalam hal pekerjaannya sebab suami telah kehilangan ihtibas yang sempurna dan karena ia tidak menaatinya secara benar.
"Akan tetapi, jika suami tidak melarang ia bekerja di luar rumah, maka dengan kerelaan suami tersebut ia berhak mendapat nafkah sekalipun suaminya tidak bisa memperoleh ihtibas secara sempurna. Sebab, tidak dilarangnya istri untuk meninggalkan pekerjaannya berarti telah memperoleh restu untuk bekerja di luar rumah.
"Kebolehan tersebut tidak berarti menggugurkan hak suami untuk melarangnya di kemudian hari."
Kelimabelas: Pendapat Prof. Dr. Muhammad Mustafa al-Husaini, gurubesar Hukum Islam Fak. Syari'ah dan Hukum Universitas al-Azhar
Dalam pembahasan fiqih-nya dia menguraikan masalah ketaatan istri untuk suaminya, dan karena itu ditetap kannya hak pemberian nafkah serta ketentuan-ketentuan nusyuz-nya karena bekerja tanpa izin suaminya. Dalam kesempatan ini ia menguraikan beberapa ketentuan dalam syariah Islam dibandingkan dengan hukum-hukum agama lain. Ia meringkaskan keterangannya sebagai berikut:
"Dari semua apresiasi yang telah ditampilkan, baik melalui syariah Islam maupun oleh syariah agama-agama lain, yang melanggar larangan suaminya untuk meninggalkan tugas pekerjaannya itu akan menggugurkan hak nafkahnya lantaran tiadanya ihtibas yang sempurna. Menyejahterakan kehidupan keluarga adalah kewajiban suami yang terpokok. Oleh karena itu, istri karier yang banyak meninggalkan waktu bagi suaminya tidak berhak menuntut pemberian apa pun dari suaminya karena itu berdosa, yakni tidak taat terhadap suaminya, sedangkan taat terhadap suami adalah kewajiban yang telah disyariatkan dalam agama-agama samawi. Semua ketaatan tersebut logis dan wajar untuk menegakkan semua pranata kehidupan berumah tangga secara wajar, pula guna tercapainya kebahagiaan yang diharapkan bagi kehidupan kemanusiaan yang menjadi titik perhatian semua syariah demi sempurnanya sistem keluarga. Kebahagiaan keluarga adalah berkat warga masyarakat yang baik. Akan tetapi, ketika ke-nusyuz-an istri merupakan suatu kendala bagi ditegakkannya sendi-sendi yang menopang kebahagiaan keluarga, dan bahkan merupakan salah satu hal yang turut mempercepat proses keruntuhan tali ikatan suci yang telah dijalin oleh sistem syariah agar dihormati dan dijunjung tinggi, maka pada saat itu syara' bukan hanya menggugurkan pemberian nafkah yang sedang berlangsung, bahkan lebih dari itu; pengguguran tersebut bersifat kekal sekalipun kemudian ada ketentuan dari qadhi (hakim agama) dan atau kerelaan suami kecuali jika terdapat perkara-perkara yang spektakuler yang terjadi pada diri suami."
Keenambelas: Pendapat Prof. Muhammad Salam Madkur, ketua Jurusan Syari'ah lslamiyah pada Fakultas Hukum Kairo.
Mengenai masalah istri yang bekerja di luar rumah secara paruh waktu (part time), penulis kitab Ad-Dur menegaskan bahwa suami tidak berkewajiban memberi nafkah terhadapnya karena penyerahan terhadap suami yang kurang. Namun, Ibnu Abidin, dengan mengutip pendapat pengarang Shahib an-Nahr, tidak setuju dengan pendapat tersebut, dan dia tetap mewajibkan suami memberi nafkah demi kebaikannya. Ibnu Abidin membenarkan pendapat pengarang Shahib ad-Dur untuk menggugurkan nafkahnya jika suami melarang istrinya bekerja, namun larangan tersebut tidak ditaati, Ibnu Abidin pun telah menukil pendapat Al-Hindiyah bahwa hamba sahaya yang oleh majikannya diserahkan kepada suaminya pada malam hari saja, nafkahnya selama siang hari ditanggung oleh majikannya, dan nafkah dari suaminya hanya pada malam hari. Begitu pula jika hal ini dikiaskan terhadap wanita karier. Selanjutnya ia mengatakan bahwa suami tetap berhak melarang istrinya bekerja dalam semua bentuk pekerjaan sekalipun merawat atau memandikan mayat. Jika kemudian ia melanggar perintahnya lantaran keluar rumah tanpa izinnya, maka ia terhitung sebagai yang nusyuz selama ia berada di luar. Akan tetapi, jika suaminya melarangnya, maka si istri tidaklah termasuk ke dalam kategori nusyuz.
Para ahli flqih tidak membeda-bedakan bentuk-bentuk pekerjaan yang ada. Mereka memberikan hukumnya secara umum (global) yang berlaku bagi semua wanita yang keluar dari rumahnya. Juga tetap terbuka kemungkinan bagi suami yang pada mulanya merelakan istrinya untuk bekerja, kemudian mengubah kerelaannya itu, maka suami haruslah tetap ditaati oleh istrinya. Sebab, jika tidak ditaati, maka akan rusaklah hubungan suami-istri. Di samping itu, kerelaan suami pada mulanya tidaklah menggugurkan haknya untuk menerima penyerahan yang sempurna di kemudian hari sebab ke¬relaan itu berlaku hanya untuk masa yang terbatas. Dan inilah inti masalah yang dapat dipahami dari perkataan Al-Kasani: "Bahwa wanita menjadi tertahan di rumah karena pernikahan, berarti ia tidak boleh mencari nafkah untuk dirinya sendiri. Akan tetapi, manfaat ihtibas (di rumah) tadi akan kembali kepada suaminya yang bertanggung jawab atas pencarian nafkah.”
Kedelapan: Ustadz Syaikh Ahmad Ibrahim
Dia berpendapat: "Apabila istri berkarier di luar rumah, lantas suami melarangnya, tetapi ternyata ia melanggarnya, maka ia tidak berhak mendapat nafkah selama ia berada di luar."
Kesembilan: Al-Ustadz asy-Syaikh Muhammad laid al-Ibyani
Setelah menyebutkan sebab-sebab penafkahan istri dan peniadaannya, dia menyebutkan beberapa istri yang tidak berhak mendapat nafkah, di antaranya ialah istri yang berkarier. Secara khusus dia mengatakan, "Apabila suami melarang istrinya berkarier, tetapi dia tidak menghiraukannya, maka ia tidak berhak mendapat nafkah dari suami; karena istri tidak lagi menaati suami secara tidak benar, maka lenyaplah hak nafkahnya."
Kesepuluh: Al-Ustadz asy-Syaikh Abdul Wahab Khalaf
Dia menyebutkan istri-istri yang kehilangan nafkah, di antaranya adalah istri karier. Lebih khusus lagi dia menyatakan bahwa begitu pula istri karier yang keluar pada siang hari, yang suaminya telah melarangnya, tetapi dia tidak menghiraukannya, maka dia tidak berhak menerima nafkah dari suaminya.
Kesebelas: Dr. Abdul Adhim Syaraffuddin
Dia telah merinci dalam kitabnya sebab yang mewajibkan nafkah. Dia menyebutkan sebagian wanita yang tidak perlu dinafkahi, antara lain adalah istri karier. Menyangkut peniadaan yang ada: selama suami tidak merelakan kesibukan istri pada pekerjaannya yang menyita sebagian waktu, dan melarangnya, tetapi tidak diindahkan, dengan begitu hilanglah hak suami "menahan" lantaran pelanggaran istri. Jika suami telah merelakannya kembali, istri berhak menerima nafkah dari suaminya.
Keduabelas: Al-Ustadz asy-Syaikh Muhammad Abu Zahrah
Dia berkata, "Apabila suami kehilangan ihtibas secara tidak benar, maka ia (istri) tidak berhak mendapat nafkah, dan wanita itu dikategorikan nusyuz, dan di antara istri yang nusyuz itu adalah istri karier." Lalu ia berkata, "Istri karier, jika kariernya mendorongnya tidak menetap di rumah, maka ia tidak berhak memperoleh nafkah dari suami jika suaminya telah melarangnya. Hal itu adalah karena ihtibas dianggap kurang, maka suami harus menuntutnya dengan penuh; jika dia menolak, maka ia termasuk seorang nusyuz. Akan tetapi, apabila suami rela dengan ihtibas yang kurang tersebut, maka ia wajib menafkahinya."
Uraian tersebut di atas adalah rasional mengingat bahwa ihtibas yang telah menyebabkan adanya pemberian nafkah adalah suatu ihtibas bagi pelarangan mencari harta untuk dirinya sendiri, sedangkan di antara wanita karier tidak terbukti ada yang seperti itu.
"Apabila suami rela dengan ihtibas yang kurang tersebut, maka ia berhak memberi nafkah selama masa relanya itu. Akan tetapi, suatu ketika suami melarangnya, kemudian si istri tidak menaatinya, maka ia tidak berhak memperoleh nafkah."
Meskipun suami rela atas pekerjaan istrinya, tidaklah berarti ia menggugurkan haknya jika ia sewaktu-waktu melarangnya. Dengan kata lain, kerelaan suami atas pekerjaan istrinya yang sifatnya sementara itu tidaklah menggugurkan hak larangannya di lain saat.
Ketiga belas: Prof. Dr. Abdurrahman Tajj
Dia berpendapat, "Apabila hilangnya ihtibas tersebut dari pihak istri atau dari orang asing lainnya, maka wanita tersebut tidak mendapat nafkah."
Selanjutnya ia menegaskan bahwa wanita karier merupakan suatu kelompok istri yang tidak berhak mendapat nafkah dari suaminya. Lebih tegas lagi dia menekankan, "Jika pekerjaan istri menyita waktu siang hari atau sebagiannya, kemudian pada malam harinya dia pulang ke rumah suami, atau apabila istrinya bekerja semalam suntuk atau sebagiannya, kemudian dia pulang setelah itu, maka pekerjaan ini tidaklah menjadikan istri tersebut memenuhi syarat untuk bisa diberi nafkah oleh suami." Permasalahannya bergantung pada suami: Jika ia rela dengan keadaan ihtibas yang kurang tersebut, maka istrinya tetap berhak mendapat nafkah. Akan tetapi, jika ia tidak merelakan pekerjaannya, dan istri tidak menaati permintaannya, maka ia tak berhak menerima nafkah.
Begitu pula jika suami pada mulanya rela terhadap hal tersebut, lantas dia melarang istrinya bekerja, tetapi si istri tidak menghiraukannya, maka hilanglah hak atas nafkahnya.
Para fuqaha (ahli fiqih) tidak membeda-bedakan suatu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya. Selama suami tidak rela terhadap pekerjaannya yang dilakukan di luar rumah, maka selama itu pula ia akan tetap kehilangan nafkah suaminya sekalipun pekerjaan-pekerjaan tersebut dianggap sebagai pekerjaan yang penting untuk masyarakat seperti menjadi bidan dan dokter.
Keempat belas: Pendapat Prof. Umar Abdullah, ketua Jurusan Syari'ah dan wakil dekan Fakultas Hukum Iskandariyah
Dia telah menguraikan hukum pemberian nafkah istri serta menjelaskan sebab diwajibkannya dan larangan-larangannya. Dia menyebutkan adanya sekelompok istri yang tidak memperoleh nafkah dari para suami mereka, di antaranya adalah wanita karier; hal itu adalah karena suami telah kehilangan ihtibas dari pihak istrinya.
Di sini kita nukilkan pendapatnya yang khusus menyangkut hal ini: "Istri yang berkarier, baik itu guru, jaksa, dukun beranak, atau perawat yang kerjanya di luar rumah, baik sepanjang siang hari maupun paruh waktu (part time), dan baru pulang ke rumah suami setelah itu, istri yang seperti itu tidak memperoleh nafkah dari suaminya jika ia tidak menaati larangan suaminya dalam hal pekerjaannya sebab suami telah kehilangan ihtibas yang sempurna dan karena ia tidak menaatinya secara benar.
"Akan tetapi, jika suami tidak melarang ia bekerja di luar rumah, maka dengan kerelaan suami tersebut ia berhak mendapat nafkah sekalipun suaminya tidak bisa memperoleh ihtibas secara sempurna. Sebab, tidak dilarangnya istri untuk meninggalkan pekerjaannya berarti telah memperoleh restu untuk bekerja di luar rumah.
"Kebolehan tersebut tidak berarti menggugurkan hak suami untuk melarangnya di kemudian hari."
Kelimabelas: Pendapat Prof. Dr. Muhammad Mustafa al-Husaini, gurubesar Hukum Islam Fak. Syari'ah dan Hukum Universitas al-Azhar
Dalam pembahasan fiqih-nya dia menguraikan masalah ketaatan istri untuk suaminya, dan karena itu ditetap kannya hak pemberian nafkah serta ketentuan-ketentuan nusyuz-nya karena bekerja tanpa izin suaminya. Dalam kesempatan ini ia menguraikan beberapa ketentuan dalam syariah Islam dibandingkan dengan hukum-hukum agama lain. Ia meringkaskan keterangannya sebagai berikut:
"Dari semua apresiasi yang telah ditampilkan, baik melalui syariah Islam maupun oleh syariah agama-agama lain, yang melanggar larangan suaminya untuk meninggalkan tugas pekerjaannya itu akan menggugurkan hak nafkahnya lantaran tiadanya ihtibas yang sempurna. Menyejahterakan kehidupan keluarga adalah kewajiban suami yang terpokok. Oleh karena itu, istri karier yang banyak meninggalkan waktu bagi suaminya tidak berhak menuntut pemberian apa pun dari suaminya karena itu berdosa, yakni tidak taat terhadap suaminya, sedangkan taat terhadap suami adalah kewajiban yang telah disyariatkan dalam agama-agama samawi. Semua ketaatan tersebut logis dan wajar untuk menegakkan semua pranata kehidupan berumah tangga secara wajar, pula guna tercapainya kebahagiaan yang diharapkan bagi kehidupan kemanusiaan yang menjadi titik perhatian semua syariah demi sempurnanya sistem keluarga. Kebahagiaan keluarga adalah berkat warga masyarakat yang baik. Akan tetapi, ketika ke-nusyuz-an istri merupakan suatu kendala bagi ditegakkannya sendi-sendi yang menopang kebahagiaan keluarga, dan bahkan merupakan salah satu hal yang turut mempercepat proses keruntuhan tali ikatan suci yang telah dijalin oleh sistem syariah agar dihormati dan dijunjung tinggi, maka pada saat itu syara' bukan hanya menggugurkan pemberian nafkah yang sedang berlangsung, bahkan lebih dari itu; pengguguran tersebut bersifat kekal sekalipun kemudian ada ketentuan dari qadhi (hakim agama) dan atau kerelaan suami kecuali jika terdapat perkara-perkara yang spektakuler yang terjadi pada diri suami."
Keenambelas: Pendapat Prof. Muhammad Salam Madkur, ketua Jurusan Syari'ah lslamiyah pada Fakultas Hukum Kairo.
Mengenai masalah istri yang bekerja di luar rumah secara paruh waktu (part time), penulis kitab Ad-Dur menegaskan bahwa suami tidak berkewajiban memberi nafkah terhadapnya karena penyerahan terhadap suami yang kurang. Namun, Ibnu Abidin, dengan mengutip pendapat pengarang Shahib an-Nahr, tidak setuju dengan pendapat tersebut, dan dia tetap mewajibkan suami memberi nafkah demi kebaikannya. Ibnu Abidin membenarkan pendapat pengarang Shahib ad-Dur untuk menggugurkan nafkahnya jika suami melarang istrinya bekerja, namun larangan tersebut tidak ditaati, Ibnu Abidin pun telah menukil pendapat Al-Hindiyah bahwa hamba sahaya yang oleh majikannya diserahkan kepada suaminya pada malam hari saja, nafkahnya selama siang hari ditanggung oleh majikannya, dan nafkah dari suaminya hanya pada malam hari. Begitu pula jika hal ini dikiaskan terhadap wanita karier. Selanjutnya ia mengatakan bahwa suami tetap berhak melarang istrinya bekerja dalam semua bentuk pekerjaan sekalipun merawat atau memandikan mayat. Jika kemudian ia melanggar perintahnya lantaran keluar rumah tanpa izinnya, maka ia terhitung sebagai yang nusyuz selama ia berada di luar. Akan tetapi, jika suaminya melarangnya, maka si istri tidaklah termasuk ke dalam kategori nusyuz.
Para ahli flqih tidak membeda-bedakan bentuk-bentuk pekerjaan yang ada. Mereka memberikan hukumnya secara umum (global) yang berlaku bagi semua wanita yang keluar dari rumahnya. Juga tetap terbuka kemungkinan bagi suami yang pada mulanya merelakan istrinya untuk bekerja, kemudian mengubah kerelaannya itu, maka suami haruslah tetap ditaati oleh istrinya. Sebab, jika tidak ditaati, maka akan rusaklah hubungan suami-istri. Di samping itu, kerelaan suami pada mulanya tidaklah menggugurkan haknya untuk menerima penyerahan yang sempurna di kemudian hari sebab ke¬relaan itu berlaku hanya untuk masa yang terbatas. Dan inilah inti masalah yang dapat dipahami dari perkataan Al-Kasani: "Bahwa wanita menjadi tertahan di rumah karena pernikahan, berarti ia tidak boleh mencari nafkah untuk dirinya sendiri. Akan tetapi, manfaat ihtibas (di rumah) tadi akan kembali kepada suaminya yang bertanggung jawab atas pencarian nafkah.”
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Ajukan Pertanyaan atau Tanggapan Anda, Insya Allah Segera Kami Balas