Ketahuilah
bahwa aurat perempuan di hadapan laki-laki asing adalah seluruh
badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, dengan demikian
dibolehkan baginya keluar rumah dengan wajah terbuka, sebagaimana hal
ini telah disepakati oleh para ulama (ijma’).
Kesepakatan ulama
ini telah dikutip oleh Ibnu Hajar al Haitami dalam dua karyanya; al
Fatawa al Kubra dan Ha-syiyah Syarh al Idlah ‘Ala Manasik al Hajj wa al
Umrah (kitab penjelasan terhadap al Idlah karya an-Nawawi).
Pernyataannya
dalam kitab yang pertama: “Dan kesimpulan madzhab kita, bahwa Imam al
Haramain telah menukil ijma’ tentang kebolehan keluarnya seorang
perempuan dalam keadaan membuka wajah, dan bagi kaum laki-laki hendaklah
menahan pandangan”[22].
Pada kitab yang kedua, ia mengatakan:
“Sesungguhnya boleh bagi seorang perempuan untuk membuka wajah dengan
kesepakatan para ulama (Ijma') dan bagi kaum laki-laki hendaklah menahan
pandangan. kebolehan membuka wajah ini tidak bertentangan dengan ijma'
bahwa perempuan diperintahkan untuk menutup mukanya, karena tidak mesti
sesuatu yang diperintahkan kepada perempuan untuk kemaslahatan umum itu
menunjukkan bahwa perintah tersebut sebagai kewajiban”[23].
Pada
halaman lain dalam kitab yang sama, Ibnu Hajar berkata: “Pernyataannya
(an-Nawawi): “… atau apabila perempuan tersebut perlu untuk menutup
wajahnya”, tentunya termasuk kebutuhannya di sini adalah apabila
perempuan tersebut takut menyebabkan fitnah bagi orang yang melihat
kepadanya. Namun begitu --sebagaimana telah kami nyatakan-- tidak wajib
bagi perempuan untuk menutup wajahnya di jalan-jalan, seperti keterangan
yang sudah kami paparkan di tempat (pembahasan)nya”[24].
Zakariyya
al-Anshari dalam kitab Syarh ar-Raudl, berkata[25]: “Apa yang dinukil
oleh al-Imam (Imam al Haramain) tentang adanya kesepakatan bolehnya
pemerintah mencegah perempuan ke luar rumah dalam keadaan membuka wajah,
ini tidak bertentangan atau menafikan apa yang telah dikutip oleh
al-Qadli ‘Iyadl dari para ulama tentang tidak wajibnya menutup wajah
bagi perempuan di jalan, dan bahwa hal itu (menutup wajah) hanya
disunnahkan, dan bagi kaum laki-laki hendaklah menahan pandangannya.
Allah berfirman:
(سورة النور: 30 ) ( قل للمؤمنين يغضوا من أبصارهم )
(Katakanlah --Wahai Muhammad-- bagi orang-orang mukmin laki-laki, hendaklah mereka menahan pandangan (dengan syahwat)).
Karena
instruksi pemerintah bagi kaum perempuan untuk menutup wajah tersebut
bukan karena hal itu wajib atas mereka, akan tetapi karena hal itu
adalah sunnah dan mengandung kemaslahatan umum, dan jika ditinggalkan
akan menyebabkan berkurangnya muru-ah, seperti halnya dalam masalah
seorang laki-laki mendengarkan suara perempuan; hal ini boleh ketika
tidak menyebabkan fitnah, dan pada asalnya suara perempuan bukan aurat
sebagaimana pendapat yang paling shahih”.
Seorang imam mujtahid;
Ibnu Jarir at-Thabari dalam tafsirnya berkata[26]: “Memberitakan kepada
kami Ibnu Basysyar, berkata: memberitakan kepada kami, Ibnu Abi ‘Adi dan
Abd al-A’la dari Sa’id dari Qatadah dari al-Hasan, tentang firman
Allah:
ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها (النور:31)
(Dan hendaklah kaum perempuan tidak menampakan perhiasan mereka kecuali apa yang nampak darinya).
Ia
(al-Hasan) berkata: --kecuali yang nampak darinya-- ialah wajah dan
pakain. Maka pendapat yang paling benar adalah bahwa yang dimaksud ayat
tersebut ialah wajah dan pakaian. Dan jika demikian masuk dalam
pengertian ini; sifat mata (sidau), cincin, gelang dan cutek (pacar).
Kita menyatakan ini pendapat yang paling utama (benar) dengan alasan
karena semua (ulama) sepakat bahwa seorang yang shalat wajib menutup
seluruh auratnya (yang harus ditutup dalam shalat), sementara perempuan
dalam shalatnya harus membuka wajah dan kedua telapak tangannya. Selain
dua hal tersebut seorang perempuan wajib menutup seluruh badannya. Hanya
saja ada pendapat yang diriwayatkan dari nabi tentang dibolehkan
membuka kedua tangan hingga seukuran pertengahan hastanya (hasta ialah
antara ujung jari hingga sikut). Jika hal ini telah menjadi kesepakatan
ulama, maka sudah barang tentu adanya kebolehan bagi perempuan untuk
membuka dari bagian badannya yang bukan merupakan aurat baginya.
Demikian pula hal ini berlaku bagi kaum laki-laki, karena sesuatu yang
bukan aurat tidak haram untuk ditampakkan. Dengan demikian apa yang
boleh ditampakan bagi kaum perempuan --dari badannya-- maka dapat
diketahui bahwa bagain tersebut termasuk dari hal yang dikecualikan
Allah dari firman-Nya: (Kecuali yang nampak darinya). Karena apa yang
kita sebutkan di atas adalah bagaian yang nampak darinya. Juga --yang
boleh ditampakkan tersebut-- sebagai pengesualian dari firman-Nya:
وليضربن بخمرهن على جيوبهن (النور:31)
(Dan hendaklah kaum perempuan menutupkan dengan khimar-khimar mereka di atas juyub mereka)
Khumur
pada ayat di atas adalah bentuk jamak dari khimar, dan di atas juyub
mereka artinya ditutupkan di atas rambut-rambut, tengkuk-tengkuk dan
leher-leher mereka.
Dan telah ada pernyataan dari Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah, Sa’id ibn Jabir, ‘Atha dan lainnya tentang penafsiran firman Allah:
ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها (النور:31)
Bahwa
yang dimaksud ayat ini adalah wajah dan kedua telapak tangan. Inilah
pendapat yang benar yang dikuatkan banyak dalil, di antaranya hadits
tentang perempuan Khats’amiyyah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari[27],
Muslim[28], Malik[29], Abu Dawud[30], an-Nasa’i[31], ad-Darimi[32] dan
Ahmad[33] dari jalan ‘Abdullah ibn ‘Abbas, berkata: “Seorang perempuan
Khats’amiyyah di pagi hari raya datang bertanya kepada Rasulullah, ia
berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya kewajiban haji telah mendapati
ayahku dalam keadaan yang sudah tua renta, ia tidak mampu untuk menetap
di atas kendaraan, apakah aku harus menghajikannya?. Rasulullah
bersabda: “Berhajilah untuknya”. Ibnu ‘Abbas berkata: “Perempuan
tersebut adalah seorang yang cantik, ia menjadikan al-Fadl (seorang
sahabat Rasulullah) terkagum-kagum melihat kepada kecantikannya.
Kemudian Rasulullah memalingkan leher al-Fadl”.
Dalam lafazh
hadits at-Tirmidzi dari hadits ‘Ali[34]: “al-Abbas berkata: Wahai
Rasulullah kenapa engkau memalingkan leher anak pamanmu?. Rasulullah
bersabda: “Aku melihat seorang pemuda dan pemudi, maka aku
mengkhawatirkan syetan atas keduanya”. Ibnu Abbas berkata: “kejadian
tersebut setelah turunnya ayat hijab”.
Dalam lafazh
al-Bukhari[35] dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas, berkata: “Nabi memboncengkan
al-Fadl ibn al-‘Abbas pada hari nahr (ied al-Adlha) di belakang
tunggangannya, al-Fadl adalah seorang pemuda berwajah tampan, ketika
nabi berhenti untuk memberi fatwa di hadapan manusia, datang seorang
perempuan dari Khats’am berparas cantik meminta fatwa kepada nabi,
al-Fadl berpaling melihat kepadanya dan ia kagum dengan kecantikannya,
nabi menengok sementara al-Fadl tetap memandang kepada perempuan
tersebut. Kemudian nabi mengangkat tangannya memegang dagu al-Fadl dan
memalingkannya untuk tidak melihat kepada perempuan itu.
Ibn
Hajar al-‘Asqalani dalam keterangan hadits di atas berkata: “Ibnu
Batthal berkata: Pada hadits di atas terdapat perintah untuk memalingkan
pandangan bila ditakutkan adanya fitnah, artinya apa bila aman dari
adanya fitnah maka memandang bukan hal yang terlarang. Dalam hadits ini
pula terdapat keterangan bahwa selain para isteri nabi; hijab [penutup
wajah] bukan suatu kewajiban. Hijab hanya wajib atas para isreti nabi.
Jika wajib atas selain isteri-isteri nabi, tentunya nabi akan
memrintahkan perempuan khats’amiyah tersebut untuk menutup wajahnya saat
ia memalingkan wajah al-Fadl.
Pendapat yang menyatakan bahwa
perempuan khats’amiyah tersebut saat itu sedang ihram [hingga harus
membuka wajahnya], adalah pendapat yang tidak benar. Dengan alasan,
bahwa perempuan tersebut saat menghadap Rasulullah memiliki dua
kesempatan; Pertama untuk tujuan bertanya tentang masalah ihram. Kedua;
sekaligus tentang masalah menutup wajah; artinya bila ada keharusan
menutup wajah maka Rasulullah akan memerintahkan perempuan tersebut
untuk meletakkan kain penutup wajah [pada bagian atas penutup kepalanya]
dengan tanpa menutup wajahnya. Namun kenyataannya tidak. Ini berbeda
dengan para isteri Rasulullah yang meletakan kain penutup wajah, saat
mereka ihram mereka mengangkat kain penutup tersebut, tapi di luar ihram
[saat mereka datang atau pulang dari ihram], mereka menutup wajah[36].
_____________________________________
[22]. Al-Fatawa al-kubra (1/199)
[23]. Hasyiat Syarh al-Idlah Fi Manasik al-Hajj (h/276)
[24]. Ibid (178)
[25]. Lihat Syarah Raudl at-Thalib (3/110)
[26]. Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Qur’an (9/54)
[27]. Shahih al-Bukhari: Kitab al-Hajj: Bab Wujub al-Hajj wa Fadlih
[28]. Shahih Muslim: Kitab al-Hajj: Bab al-Hajj ‘an al-‘Ajiz li Zamanah Wa Haram Wa Nahwihima Aw li al-Maut.
[29]. Muwatha Malik: Kitab al-Hajj: Bab al-Hajj ‘amman la Yastathi an Yatsbut ‘Ala ar-Rahilah.
[30]. Sunan Abi Dawud: Kitab al-Manasik: Bab ar-Rajul Yahujj ‘an Ghairih.
[31]. Sunan an-Nasa’i: Kitab al-Manasik: Bab Hajj al-Mar’ah ‘an ar-Rajul.
[32]. Sunan ad-Darimi: Kitab al-Manasik: Baba fi al-Hajj ‘an al-Hayy (2/39-40)
[33]. Musnad Ahmad (1/213)
[34]. Jami’ at-Tirmidzi: Kitab al-Hajj: Baba ma Ja ‘an al-Arafah Kullaha Mawqif.
[35].
Lihat Shahih al-Bukhari: Kitab al-Isti’dzan: Bab tentang firman Allah :
(يا أيها الذين ءامنوا لا تدخلوا بيوتا غير بيوتكم)
[36]. Sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud, Ibnu Abi Syaibah dan lainnya.
[37]. dan lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Ajukan Pertanyaan atau Tanggapan Anda, Insya Allah Segera Kami Balas