Dalam suatu majlis,
seorang ulama besar dipuji oleh jamaahnya. Sifatnya yang baik
disanjung-sanjung, dan kebajikannya dibesar-besarkan sampai ulama
tersebut merasa malu.
"Cukuplah saudara-saudara," kata sang ulama untuk menghentikan sanjungan, "Sesungguhnya saya ini tak lebih bagaikan burung merak."
"Apa maksud kiai?"
"Ya, merak dipuji karena bulunya yang bagus. Tapi burung itu sendiri malu karena kakinya yang pendek. Begitu pula yang terjadi pada diri saya. Kalian hanya tahu kebajikan saya karena kalian dapat melihat dengan mudah. Segalanya memang terbuka, tetapi kalian tidak dapat melihat kekurangan dalam hati saya dan berbagai cacat yang tersembunyi. Cuma saya yang tahu.
Karena rasa malu itulah, maka saya selalu menundukkan kepala, bersujud di hadapan-Nya. Karena hanya Dia-lah yang tahu keadaan saya yang sebenarnya, bahkan yang tidak saya ketahui."
Barulah para jamaah tersadar, bahwa tidak seharusnya asyik memuji orang di depannya.
Pujian itu ibarat pisau bermata dua. Satu sisi sangat menguntungkan, di sisi lain sangat membahayakan. Pujian bisa menumbuhkan motivasi dan citra diri. Sebaliknya pujian bisa berbalik menjadi racun yang dapat merusak sendi-sendi keimanan. Ia dapat mengubah seseorang menjadi pongah dan sombong.
Penguasa, tokoh masyarakat, atau ulama pada mulanya adalah orang biasa. Akan tetapi setelah menduduki posisi yang amat penting, mereka sering mendapatkan pujian, penghormatan dan ketaatan. Pada mulanya mereka risih juga menerima perlakuan tersebut, tapi lama-kelamaan menjadi biasa. Bahkan pada taraf berikutnya mereka merasa kurang dihargai jika tidak dihormati. Jika dalam suatu acara tidak diberi tempat terdepan, mereka mereka tersinggung. Jika dalam suatu pidato tidak disebutkan "yang terhormat" atau "yang mulia", mereka bisa berulah.
Dari hal yang remeh dan kecil ini ternyata eksesnya cukup besar. Seorang penguasa menjadi diktator setelah mendapat pujian dan sanjungan dari rakyatnya sendiri. Seorang tokoh menjadi angkuh setelah mendapatkan berbagai kehormatan duniawi. Seorang ulama bisa juga menjadi sombong jika terus-menerus memperoleh pujian seperti ini.
Bukan hanya salah Fir'aun jika ia menjadi seorang diktator, bahkan mengangkat dirinya sebagai tuhan. Ada andil yang juga sangat besar sesungguhnya, dari para menteri dan segenap jajaran di bawahnya.
Suatu ketika seorang presiden diberi gelar sangat panjang, juga jabatan seumur hidup oleh wakil rakyat. Apa yang terjadi kemudian? Tak lama setelah itu ia menjadi diktator. Kekuasaannya menjadi sangat mutlak, sehingga rakyat memberontak dan akhirnya menggulingkannya.
Sebuah pujian akan sangat membahayakan jika tidak tepat sasaran. Untuk itu, jika kita ingin memberi pujian hendaklah terlebih dahulu memikirkan dampaknya. Jangan asal memuji.
Sebelum memuji kita harus bertanya, siapa yang kita puji, di mana kita memujinya, dan kapan kita berikan pujian tersebut, dan bagaimana cara memujinya? Jika salah menempatkan pujian, bukan kebaikan yang kita dapatkan, tapi justru kehancuran.
Pertanyaan "siapa", harus kita jawab dengan seberapa ketangguhan iman seseorang menerima pujian tersebut. Jika tidak, akan berubah menjadi kesombongan.
Ajaran Islam tidak mengharamkan seratus persen terhadap pujian. Pujian bisa menjadi positif jika dilakukan secara tepat. Ia akan berubah menjadi motivasi dan dorongan yang kuat bagi seorang muslim untuk melakukan berbagai amal kebaikan. Nabi Muhammad sendiri banyak memberikan motivasi kepada sahabatnya dengan memberi pujian ini. Salah satu caranya adalah dengan memberi gelar atau nama julukan kepada para sahabatnya yang berprestasi.
Sahabat paling dekat yang selalu membenarkan apa saja yang datang dari Rasulullah, termasuk sesuatu yang tidak masuk akal seperti isra dan mi'raj, yaitu Abu Bakar, diberi gelar ash-Shiddiq. Gelar ini sangat populer sehingga banyak di antara sahabat yang memanggilnya cukup dengan menyebut gelarnya saja, misalnya 'Ya Ash-shiddiq'.
Umar bin Khaththab yang sangat dikenal keberaniannya dalam membela kebenaran diberi nama tambahan 'Al-Faruq', yang berarti pembeda. Disebut demikian karena Umar selalu tampil membawa kebenaran dan memperjuangkannya dalam keadaan bagaimanapun juga. Sikap itu menimbulkan rasa takut pada kalangan musuh, termasuk syetan.
Ali bin Abi Thalib mendapat gelar 'Baabul-'ilm', pintu ilmu pengetahuan. Sebutan ini pas dikenakan Ali karena keluasan ilmunya. Dalam sebuah hadits disebutkan, "'Aku,' kata Rasulullah, 'adalah gudangnya ilmu, sedangkan Ali adalah pintunya.'" Tak salah jika dalam masa pemerintahan Khalufa'ur-Rasyudin, ia selalu tampil sebagai penasehat khalifah, untuk kemudian pada gilirannya ia sendiri ditunjuk menjadi khalifah yang keempat.
Banyak lagi sahabat yang mendapatkan gelar kehormatan dari Rasulullah. Hamzah diberi gelar penghulu para syuhada, Khalid bin Walid diberi gelar saifuddin, pedang agama. Demikian juga sahabat lainnya. Masing-masing mendapat gelar sesuai dengan prestasinya.
Pujian yang diberikan oleh Nabi dengan cara seperti ini sangat positif dalam menumbuhkan rasa percaya diri. Sahabat yang menerima pujian ini tidak kemudian merasa sombong dan pongah, sebab terlebih dahulu Nabi telah menjajaki tingkat keimanannya. Pujian itu tidak meracuni dan merusak imannya, bahkan sebaliknya, justru memupuk dan menumbuhsuburkannya.
Dalam keadaan-keadaan tertentu, pujian bisa bernilai sangat positif. Seorang anak akan merasa sangat senang jika dipanggil dengan sebutan yang baik. Ia akan bangga jika dipanggil 'si manis', 'sayang', 'kakak yang baik hati', atau sebutan-sebutan lainnya. Bahkan seorang istripun akan merasa bahagia jika suaminya memanggilnya dengan pujian yang baik. Itulah sebabnya Rasulullah sering memanggil istrinya, 'Aisyah dengan panggilan "Ya Khumaira", wahai permataku. Betapa tingginya penghargaan Rasulullah kepada istrinya. Suatu apresiasi yang luar biasa.
Dalam konsep Islam, seorang muslim tidak diperkenankan menghinakan dirinya di hadapan manusia, sebagaimana ia juga dilarang berbuat sombong. Seorang muslim hendaknya selalu menjaga kehormatan dan kemuliaannya. Itulah sebabnya orang tua tidak boleh memberi nama anaknya dengan nama-nama yang kurang baik, apalagi yang bisa merusak harga diri anak. Demikian juga, diharamkan bagi semua muslim memanggil seseorang dengan panggilan buruk yang tidak disukai oleh yang dipanggil atau yang bisa merusak harga dirinya. Laqab-laqab seperti itu akan merusak dan membinasakan kepribadian manusia.
Itulah sebabnya sangat dibutuhkan kebijaksanaan. Orang tua yang baik adalah yang bijak. Pemimpin yang baik adalah yang bijak. Demikian juga teman yang baik adalah mereka yang bijak. Mereka tahu kapan harus memberikan pujian. Mereka tahu momen yang tepat dan tempat yang pas.
Sangat dianjurkan bagi kaum muslimin untuk memberikan pujian kepada orang lain di saat yang dipujinya itu tidak sedang berada di depannya. Menggunjingkan kebaikan orang lain itu sangat dianjurkan. Sebaliknya menggunjingkan keburukan teman merupakan perbuatan tercela dan dosa. Diharamkan bagi semua kaum muslimin melakukannya.
Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (TQS. Al-Hujuraat: 12)
"Cukuplah saudara-saudara," kata sang ulama untuk menghentikan sanjungan, "Sesungguhnya saya ini tak lebih bagaikan burung merak."
"Apa maksud kiai?"
"Ya, merak dipuji karena bulunya yang bagus. Tapi burung itu sendiri malu karena kakinya yang pendek. Begitu pula yang terjadi pada diri saya. Kalian hanya tahu kebajikan saya karena kalian dapat melihat dengan mudah. Segalanya memang terbuka, tetapi kalian tidak dapat melihat kekurangan dalam hati saya dan berbagai cacat yang tersembunyi. Cuma saya yang tahu.
Karena rasa malu itulah, maka saya selalu menundukkan kepala, bersujud di hadapan-Nya. Karena hanya Dia-lah yang tahu keadaan saya yang sebenarnya, bahkan yang tidak saya ketahui."
Barulah para jamaah tersadar, bahwa tidak seharusnya asyik memuji orang di depannya.
Pujian itu ibarat pisau bermata dua. Satu sisi sangat menguntungkan, di sisi lain sangat membahayakan. Pujian bisa menumbuhkan motivasi dan citra diri. Sebaliknya pujian bisa berbalik menjadi racun yang dapat merusak sendi-sendi keimanan. Ia dapat mengubah seseorang menjadi pongah dan sombong.
Penguasa, tokoh masyarakat, atau ulama pada mulanya adalah orang biasa. Akan tetapi setelah menduduki posisi yang amat penting, mereka sering mendapatkan pujian, penghormatan dan ketaatan. Pada mulanya mereka risih juga menerima perlakuan tersebut, tapi lama-kelamaan menjadi biasa. Bahkan pada taraf berikutnya mereka merasa kurang dihargai jika tidak dihormati. Jika dalam suatu acara tidak diberi tempat terdepan, mereka mereka tersinggung. Jika dalam suatu pidato tidak disebutkan "yang terhormat" atau "yang mulia", mereka bisa berulah.
Dari hal yang remeh dan kecil ini ternyata eksesnya cukup besar. Seorang penguasa menjadi diktator setelah mendapat pujian dan sanjungan dari rakyatnya sendiri. Seorang tokoh menjadi angkuh setelah mendapatkan berbagai kehormatan duniawi. Seorang ulama bisa juga menjadi sombong jika terus-menerus memperoleh pujian seperti ini.
Bukan hanya salah Fir'aun jika ia menjadi seorang diktator, bahkan mengangkat dirinya sebagai tuhan. Ada andil yang juga sangat besar sesungguhnya, dari para menteri dan segenap jajaran di bawahnya.
Suatu ketika seorang presiden diberi gelar sangat panjang, juga jabatan seumur hidup oleh wakil rakyat. Apa yang terjadi kemudian? Tak lama setelah itu ia menjadi diktator. Kekuasaannya menjadi sangat mutlak, sehingga rakyat memberontak dan akhirnya menggulingkannya.
Sebuah pujian akan sangat membahayakan jika tidak tepat sasaran. Untuk itu, jika kita ingin memberi pujian hendaklah terlebih dahulu memikirkan dampaknya. Jangan asal memuji.
Sebelum memuji kita harus bertanya, siapa yang kita puji, di mana kita memujinya, dan kapan kita berikan pujian tersebut, dan bagaimana cara memujinya? Jika salah menempatkan pujian, bukan kebaikan yang kita dapatkan, tapi justru kehancuran.
Pertanyaan "siapa", harus kita jawab dengan seberapa ketangguhan iman seseorang menerima pujian tersebut. Jika tidak, akan berubah menjadi kesombongan.
Ajaran Islam tidak mengharamkan seratus persen terhadap pujian. Pujian bisa menjadi positif jika dilakukan secara tepat. Ia akan berubah menjadi motivasi dan dorongan yang kuat bagi seorang muslim untuk melakukan berbagai amal kebaikan. Nabi Muhammad sendiri banyak memberikan motivasi kepada sahabatnya dengan memberi pujian ini. Salah satu caranya adalah dengan memberi gelar atau nama julukan kepada para sahabatnya yang berprestasi.
Sahabat paling dekat yang selalu membenarkan apa saja yang datang dari Rasulullah, termasuk sesuatu yang tidak masuk akal seperti isra dan mi'raj, yaitu Abu Bakar, diberi gelar ash-Shiddiq. Gelar ini sangat populer sehingga banyak di antara sahabat yang memanggilnya cukup dengan menyebut gelarnya saja, misalnya 'Ya Ash-shiddiq'.
Umar bin Khaththab yang sangat dikenal keberaniannya dalam membela kebenaran diberi nama tambahan 'Al-Faruq', yang berarti pembeda. Disebut demikian karena Umar selalu tampil membawa kebenaran dan memperjuangkannya dalam keadaan bagaimanapun juga. Sikap itu menimbulkan rasa takut pada kalangan musuh, termasuk syetan.
Ali bin Abi Thalib mendapat gelar 'Baabul-'ilm', pintu ilmu pengetahuan. Sebutan ini pas dikenakan Ali karena keluasan ilmunya. Dalam sebuah hadits disebutkan, "'Aku,' kata Rasulullah, 'adalah gudangnya ilmu, sedangkan Ali adalah pintunya.'" Tak salah jika dalam masa pemerintahan Khalufa'ur-Rasyudin, ia selalu tampil sebagai penasehat khalifah, untuk kemudian pada gilirannya ia sendiri ditunjuk menjadi khalifah yang keempat.
Banyak lagi sahabat yang mendapatkan gelar kehormatan dari Rasulullah. Hamzah diberi gelar penghulu para syuhada, Khalid bin Walid diberi gelar saifuddin, pedang agama. Demikian juga sahabat lainnya. Masing-masing mendapat gelar sesuai dengan prestasinya.
Pujian yang diberikan oleh Nabi dengan cara seperti ini sangat positif dalam menumbuhkan rasa percaya diri. Sahabat yang menerima pujian ini tidak kemudian merasa sombong dan pongah, sebab terlebih dahulu Nabi telah menjajaki tingkat keimanannya. Pujian itu tidak meracuni dan merusak imannya, bahkan sebaliknya, justru memupuk dan menumbuhsuburkannya.
Dalam keadaan-keadaan tertentu, pujian bisa bernilai sangat positif. Seorang anak akan merasa sangat senang jika dipanggil dengan sebutan yang baik. Ia akan bangga jika dipanggil 'si manis', 'sayang', 'kakak yang baik hati', atau sebutan-sebutan lainnya. Bahkan seorang istripun akan merasa bahagia jika suaminya memanggilnya dengan pujian yang baik. Itulah sebabnya Rasulullah sering memanggil istrinya, 'Aisyah dengan panggilan "Ya Khumaira", wahai permataku. Betapa tingginya penghargaan Rasulullah kepada istrinya. Suatu apresiasi yang luar biasa.
Dalam konsep Islam, seorang muslim tidak diperkenankan menghinakan dirinya di hadapan manusia, sebagaimana ia juga dilarang berbuat sombong. Seorang muslim hendaknya selalu menjaga kehormatan dan kemuliaannya. Itulah sebabnya orang tua tidak boleh memberi nama anaknya dengan nama-nama yang kurang baik, apalagi yang bisa merusak harga diri anak. Demikian juga, diharamkan bagi semua muslim memanggil seseorang dengan panggilan buruk yang tidak disukai oleh yang dipanggil atau yang bisa merusak harga dirinya. Laqab-laqab seperti itu akan merusak dan membinasakan kepribadian manusia.
Itulah sebabnya sangat dibutuhkan kebijaksanaan. Orang tua yang baik adalah yang bijak. Pemimpin yang baik adalah yang bijak. Demikian juga teman yang baik adalah mereka yang bijak. Mereka tahu kapan harus memberikan pujian. Mereka tahu momen yang tepat dan tempat yang pas.
Sangat dianjurkan bagi kaum muslimin untuk memberikan pujian kepada orang lain di saat yang dipujinya itu tidak sedang berada di depannya. Menggunjingkan kebaikan orang lain itu sangat dianjurkan. Sebaliknya menggunjingkan keburukan teman merupakan perbuatan tercela dan dosa. Diharamkan bagi semua kaum muslimin melakukannya.
Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (TQS. Al-Hujuraat: 12)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Ajukan Pertanyaan atau Tanggapan Anda, Insya Allah Segera Kami Balas