Oleh: KH. Taqiyuddin Alawy
Bismillahir Rahmanir Rahim …
Suatu hari, dua orang wanita yang bersahabat saling bertemu dan
bertukar cerita. Salah satu dari mereka lalu mengungkapkan rasa
penasarannya bahwa sahabatnya terlihat sangat jarang sekali marah kepada
sang suami, atas bagaimanapun perlakuan yang diterimanya. Lalu sang sahabat berkata….
Ketika kemarahan itu sudah sampai diubun-ubun, lalu aku masih
menahannya dan mencoba tetap mendidik diriku untuk tetap mengingat
betapa jasanya yang dalam himpitan kesusahan, lelah dan penat, dia
berusaha mencukupi nafkah untuk aku dan keluargaku. Dan tidak jarang
pula, akhirnya dia melupakan perawatan atas dirinya sendiri.
Aku seperti halnya kamu, adalah seorang wanita, yang memang
diciptakan lebih lemah dari pada lelaki. Dan saat kelemahanku itu hadir
dan mengusik mereka, seribu satu kemakluman mereka hadirkan untuk tetap
mengerti kekurangan kita sebagai wanita.
Terkadang keegoisan kami sama- sama datang, namun akhirnya naluri
mengalahnya atas perempuan manja yaitu aku pun muncul. Direngkuhnya aku
dan terucaplah perkataan maaf itu. Dan, dari disanalah akhirnya
perdamaian kami tercipta. Semakin mesra.
Tapi….
Tidak jarang pula, ketika rasa “keunggulannya” sebagai lelaki hadir
dan membuatnya sedikit terbawa dalam ego, hal itu memang membuatku
sedikit sakit hati, yah aku kan hanya manusia. Namun kesempatan itu
tidak aku sia- siakan, aku tata batinku sedemikian rupa sehingga aku
terlihat menyenangkannya dalam luasnya hatiku menerimanya. Aku yakin,
Allah yang Maha melihat akan lebih ridho kepadaku saat itu.
Saat tiada teman berbagi, dialah yang menyediakan pundaknya yang kuat
untukku menangis. Kekuatan pikiran dalam logisnya dia berpikir, yang
jelas- jelas memang lebih kuat dari pada aku, akhirnya memberi ruang
bagiku sejenak untuk merasa nyaman dan terlindungi. Sekuat- kuatnya
wanita didunia ini, tapi sesuai dengan fitrahnya, wanita tetap dan pasti
akan merasa butuh diayomi oleh laki- laki.
Rasanya tiada teman yang paling pantas aku akrabi selain suamiku. Dan
memang sebagai manusia biasa, dia tidak akan lepas dari kekurangan,
seperti halnya aku. Lalu setelah semua itu aku sadari, untuk alasan
apalagi aku harus menuntutnya menjadi sempurna? Dan dalam keterbatasan
serta kekurangannya sebagai manusia, masih pantaskah aku menuntutnya
untuk harus selalu berlaku dan memberi lebih kepadaku?
Dan bukan berarti aku merendahkan diriku sendiri atasnya, namun..
dengan kalimatku ini, aku mencoba sadar diri, betapa aku mempunyai
banyak kekurangan sebagai wanita. Dan dia tetap memilih aku, dan
memutuskan untuk menghabiskan sisa waktu hidupnya denganku, membimbing,
mengayomi, dan menafkahi aku. Lalu, berilah aku satu alasan, dari celah
mana aku bisa tetap beralasan untuk tidak bisa menahan lidahku atas
suamiku?
Dan menahan kemarahanku padanya, insyaAllah akan memberi gambaran
jelas tentang diriku, istrinya, yang sebenar- benarnya. Jika aku selama
ini belum dapat membuatnya bangga, mungkin saat inilah yang tepat bagiku
mengukir kenangan yang dapat membanggakannya. Membuatnya bangga bahwa
aku adalah istri yang dapat tetap mengertinya, bahkan dalam keadaan
marah sekalipun. Setelah itu, aku yakin dia akan berkata pada hatinya,
bahwa dia bersyukur telah meletakkan pilihan atas separoh hidupnya
kepadaku.
Dan apakah kau tahu, bahwa suamiku adalah ladang amal yang InsyaAllah
akan membawa ku kepada surga Allah yang abadi. Keridhoannya adalah
kunci pembuka pintunya, dan mengalah sedikit bukan berarti menjadi
budaknya, namun sikap sabar itu yang justru akan memuliakan kita
dihadapannya.
Maka aku belajar untuk tidak merelakan hidup dan hatiku diatur oleh
rasa. Rasa amarah, rasa benci, dan apapun yang justru akan membelokkan
fokusku dari menghimpun pahala dari Sang maha kuasa. Maka dari itu pula,
aku ingin mencintai suamiku karena Allah. Hanya karena Allah, jadi
setiap kali aku marah kepadanya, aku akan kembali mengingat Allah dan
mengingatnya hanya sebatas manusia yang penuh dengan kekurangan seperti
halnya aku. Hal itu yang menjauhkanku dari penghakiman apapun atas
suamiku. Setelah itu, betapa hanya keteduhan yang akhirnya memenuhi
hatiku, dan hilanglah amarahku (Syahidah)
apapun sifat suamimu??? kl dia melenceng jauh dr agamamu dn selalu membuat km menderita apakah km ttp akan berpikir seperti itu?
BalasHapusapakah di atas dijelaskan suami semacam yang anda katakan?
Hapus